Dikira Meriang Kecapean (Sebelum Tes Swab)

Dikira meriang

Akhirnya menyempatkan diri untuk nulis lagi setelah tulisan sebelumnya. Tulisan ini dimaksudkan untuk catatan sekaligus refleksi buat saya dan teman-teman yang membutuhkan. Kisah ini tentang kondisi kami (saya dan suami) pada suatu hari ketika kami sakit yang awalnya dikira meriang kecapean. Gejala covid yang serupa flu semakin membingungkan, kan? Apalagi ditambah kondisi cuaca yang mulai sering hujan. Kadang kita berdalih: Flu biasa kali. Cuaca juga lagi ga bagus. Lagi musim flu. Saya kira kalimat menenangkan begini sudah tidak relevan lagi di kondisi carut marut begini. Ingat, penderita covid 19 di Indonesia sudah tembus 1 juta! Dengan menulis ini saya ingin berbagi pengalaman untuk tetap tenang tetapi juga aware dengan kondisi tubuh.

Gejala pada Saya bermula: Demam dan Sakit Tulang.

Bermula dari hari Rabu 20 Januari 2021, saya merasa demam dan kepala terasa berat. Saya ingat malam sebelumnya sehabis mandi terasa menggigil (memang waktu mandinya selepas magrib, mulai malam). Namun, demam ini tidak biasa. Belum pernah saya demam sebelumnya dengan kondisi tulang-tulang juga nyeri. Ya pegel, ya sakit. Suami mencoba menenangkan sembari memijat kaki saya, “Asam urat mungkin ini”. Saya ragu, tapi saya tidak komentar banyak.

Jadi saya habiskan pagi itu dengan tidur. Dengan yakin saya katakan pada suami yang saya lihat kerepotan mengurus anak-anak sendirian, “insya Allah siang nanti udah enakan”. Meleset. Saya tetap demam hingga esokannya. Total saya demam selama 2 hari. Pada hari ke-2 mulai batuk dan agak berat di dada ketika menarik napas. Selainnya, kondisi saya relatif normal.

Gejala pada Suami: Demam dan Batuk Terus-menerus.

Hari ke-3 gantian suami saya yang demam. Benar adanya. Kami keletihan mengasuh anak-anak dan mengurus rumah di tengah kondisi cuaca yang sudah mulai musim hujan, begitu analisa saya. Dua hari berlalu dan suami masih tetap demam. Selama kami demam, kami rajin konsumsi susu beruang dan vitamin c setiap hari. Tapi, kondisi suami tidak membaik.

Pada Ahad malam, 24 Januari 2021 (hari ke-3 suami sakit, hari ke-5 sejak saya demam), kami menyadari bahwa kami tidak bisa mencium bau. Freshcare yang dioles di bawah hidung hanya terasa panas tanpa tercium aromanya. Saya mulai khawatir.

Saya lihat suami mulai intens batuk. Setiap ia batuk, hati saya mencelos. Malam hari terasa sesak, katanya. Tidur pun sulit. Pernah suatu malam (pukul 01.00 WIB), suami membangunkan saya karena tidak bisa tidur akibat batuk yang terus menerus. Saya sigap bangun dari tidur dan bergegas ke dapur, rencananya mau membuatkan air rebusan jahe. Baru mengambil pisau, kulit saya terasa meremang, keluar keringat dingin. Pandangan kabur lalu gelap. Saya langsung berbaring. Saya lihat suami yang berjarak beberapa cm juga sedang berbaring dan batuk-batuk tidak berhenti. Kami berbaring bersama dan tidak berdaya selama beberapa menit. Satu pikiran melintas, “Dua orang dewasa di rumah ini tidak berdaya. Sedangkan, ada 2 balita bergantung pada kami. Kami harus tenang dan fokus. Sebisa mungkin kendalikan diri walau sulit”. Ketika badan terasa membaik, saya kembali melanjutkan rencana membuat air rebusan jahe.

Pada hari itu juga seorang teman merekomendasikan oxymeter yang salah satu fungsinya untuk memantau saturasi. Saya kira saya butuh juga untuk memantau kondisi suami yang semakin payah.

Tes Swab PCR

Senin, 25 Januari 2021, suami akhirnya memutuskan untuk tes swab di RS Hermina Bekasi. Sebelumnya, suami harus konsul ke dokter spesialis paru agar mendapatkan rekomendasi untuk tes swab pcr. Jadi, hari itu suami melakukan tes swab, rontgen dan pengambilan darah. Oleh pihak RS dikatakan bahwa hasil swab akan diterima 3 hari kemudian. Jika positif, suami harus kembali konsultasi dengan dokter spesialis paru Jika negatif, konsultasi tidak diperlukan.

Pengukuran dengan Oxymeter.

Selama menunggu hasil swab, batuk suami semakin menjadi. Ketika oxymeter telah sampai di rumah, saya gunakan pada suami. Angka saturasi menunjukkan 94. Saya kurang paham apa artinya. Saya coba browsing, tidak kunjung menemukan info yang menyeluruh. Saya hanya tahu, saturasi 98 termasuk normal. Tapi, berapa angka saturasi yang menjadi indikator untuk saya patut khawatir dan membawa suami ke RS? Baru beberapa hari kemudian saya menemukan info pada akun instagram @adamprabata tentang cara membaca oxymeter pulse.

www.instagram.com/adamprabata

Setelah membaca informasi tabel angka saturasi, saya agak tercengang. Kondisi suami pernah berada pada angka 91-92.

Saya kira, setiap kita wajib untuk mengetahui kondisi badan diri sendiri. Rasakan betul gejala yang muncul pada tubuh ketika sakit. Utarakan pada orang terdekat. Segera sigap dan jangan menutupi pikiran dengan asumsi-asumsi yang positif tapi keliru, misal: Ah, cuma demam biasa. Kecapean kali. “Kalau badan meriang dan demam, sudah disuplai vitamin dan suplemen tapi tidak kunjung membaik, sebaiknya segera bawa ke dokter”. Itu kira-kira pernyataan seorang teman yang terngiang di kepala saya.

Aware tapi tetap tenang. Fokus dan sigap. Kita semua perlu jernih untuk menilai dalam kondisi yang tidak karuan begini. Semoga bisa lanjut cerita lagi ya kondisi setelah swab PCR.

Semoga bermanfaat!

12 komentar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *