Review Going Offline: Menemukan Jati Diri di Dunia Penuh Distraksi

Review Going Offline karya Desi Anwar

Review Going Offline: Menemukan Jati Diri di Dunia Penuh Distraksi – Buku Going Offline karya Desi Anwar ini tidak pernah saya baca reviewnya sebelumnya. Tidak pernah mendengarnya dari sebuah podcast atau media sosial. Walaupun begitu, ada daya tarik dari buku ini yang membuat saya membelinya pada suatu hari.

Setelah membaca Orang-orang Oetimu, saya beralih pada buku ini. Sebelum membacanya, ada ekspektasi bahwa buku ini kelak akan membuat saya menemui ketenangan dalam dunia nyata. Tidak membuat saya khawatir kalau saya tidak membuka instagram seharian. Walaupun saya sudah membatasi waktu berselancar pada instagram, tetap saja selalu ada reflek untuk mengecek instagram di setiap hari.

Scrolling instagram ini bisa saja menjadi hal yang positif, misalnya jika yang saya pantau adalah kumpulan resep makanan atau cemilan. Yang setelahnya saya akan gunakan sebagai referensi kegiatan di dapur.

Tapi ya seringnya saya gunakan untuk memantau drama korea yang sedang happening, atau stories orang-orang dekat, atau berbagai isu hangat.

Itu kenapa saya kira saya perlu baca buku semacam ini, yang mengajak untuk mengurangi distraksi dari media sosial dan rekan-rekannya.

Apakah saya akhirnya ekspektasi saya terpenuhi?

Sinopsis Buku Going Offline: Menemukan Jati Diri di Dunia Penuh Distraksi

Cover Buku Going Offline: Menemukan jati diri di dunia penuh distraksi
  • Judul Buku (terjemahan): Going Offline: Menemukan jati diri di dunia penuh distraksi
  • Judul Buku (original): Going Offline: Finding yourself in a life full of distractions.
  • Penulis: Desi Anwar
  • Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
  • Penerjemah: Rani Rachmani Moediarta
  • Jumlah Halaman: 251 halaman
  • Tahun Cetak: Januari 2020 (pertama), Juni 2021 (kedua)
Blurb buku Going Offline Desi Anwar

Ternyata saya salah sangka. Buku ini bukan mengajak kita untuk menjauhi dunia maya, media sosial dan teman-temannya. Buku ini serupa ajakan untuk memaknai hidup di tengah gempuran distraksi dari media sosial yang membuat candu. Penulis mengajak kita sesekali untuk meletakkan sejenak (bukan menjauhi) gawai kita untuk hidup di dunia fisik yang sebenarnya dengan keseluruhan indera.

Isi dari buku ini terdiri dari 2 bagian: Mengapresiasi Hidup dan Kehidupan serta Seni Kehidupan. Pada bagian Mengapresiasi Hidup dan Kehidupan, penulis mengajak untuk memaknai hal-hal kecil yang terjadi di sekitar kita misalnya dengan berjalan kaki, berbincang langsung dengan orang, menikmati lukisan di galeri seni, dan lain-lain. Di tangan Penulis, kegiatan jalan kaki menjadi lebih dalam dan penuh makna. Bukan sekadar kegiatan jalan kaki dengan kepala yang penuh dengan beragam pikiran, tetapi berjalan kaki sembari melihat sekitar dengan perasaan syukur. Saya membaca buku ini dan melihat berjalan kaki menjadi latihan untuk menjadi lebih peka dengan sekeliling kita.

Bagian kedua dari buku ini adalah Seni Kehidupan yang membahas berbagai topik dan merefleksikannya dengan penuh makna. Beberapa topik yang dibahas adalah tentang Fear of Missing Out (FOMO), berkebiasaan baik, komitmen dan disiplin, serta memahami orangtua.

Review Going Offline: Menjadi Lebih Peka dan Memaknai Hidup

Rampung membaca buku ini memberikan perasaan yang berbeda tentang beberapa hal. Perasaan menjadi lebih peka dan lebih menghargai hal-hal sederhana di sekitar saya yang tadinya luput diperhatikan.

Saya jadi lebih menikmati mengamati ekspresi wajah suami saya saat sedang berbincang secara langsung. Saya ingin juga mengalami pengalaman menenangkan (sekaligus sehat) saat rutin berjalan kaki di sekitaran rumah. Saya ingin memiliki kebiasaan baik untuk tubuh saya dari makanan yang saya makan dan olahraga yang dilaksanakan dengan rutin tanpa perasaan tertekan. Dan satu yang sudah dimulai dari merawat tubuh: memberikan perawatan serum pencerah wajah untuk kulit wajah saya yang kusam dan berbintik hitam.

Di bagian belakang isi buku, saya cukup tersentuh dengan kisah proses belajar penulis di sekolah tingkat pertama. Di situ dikatakan bahwa saat itu ia baru saja pindah ke Inggris dan kemampuan berbahasa Inggrisnya masih sangat buruk. Dengan kemampuan berbahasa seadaanya, ia mengalami kesulitan meraih prestasi di kelas. Padahal, kelasnya berisi anak-anak yang tidak cukup cerdas. Namun demikian, guru-gurunya memberi apreasiasi atas ketekunan usahanya dalam belajar. Betapa pada akhirnya apreasiasi ini berkontribusi besar dalam peningkatan prestasinya pada masa-masa setelahnya.

Quotes dari buku Going Offline

Review Going Offline: Yang Dirasa Kurang

Salah satu yang menarik saya membeli buku ini adalah karena nama besar penulisnya. Desi Anwar pernah menjadi salah satu idola saya di waktu kecil. Saya selalu merasa Desi Anwar sosok yang pintar dan keren. Atas dasar itulah, saya tidak perlu banyak mencari tau tentang buku ini sebelumnya.

Saya bersemangat membaca buku ini di awal lalu semangat itu mengendur saat belum sampai pada bagian pertengahan buku. Entah kenapa saya merasa bahasa yang digunakan agak menjemukan. Entah karena alih bahasa yang kurang mengalir atau memang begitu adanya dari penulis.

Saya harus berhenti sebentar dalam beberapa waktu lalu mulai melanjutkan membaca lagi. Kira-kira saya memerlukan waktu 3 pekan untuk membaca keseluruhan buku hingga tuntas.

Selain gaya bahasa, saya juga merasa kurang sreg dengan pemaparan yang tidak disertai data. Dengan latar belakang beliau sebagai seorang jurnalis, saya mempunyai ekspektasi besar bahwa buku ini disusun dengan data-data tepercaya. Walaupun tulisan-tulisan ini berupa refleksi pemikiran sang penulis.

Ada lagi yang dirasa kurang lengkap terkait sudut pandang penulisan. Pada beberapa topik, penulis membahas dengan sudut pandang seorang anak, kolega, kerabat, murid, dan diri sendiri. Rasanya hampir lengkap tapi saya tidak menemukan penulis sebagai orangtua dan ini cukup signifikan memberi ruang kosong. Entah mengapa, ketika berbicara sebagai seorang anak, kadang ada kesan pandangan yang kurang bijak terhadap orangtua.

Pada halaman 229, penulis mengajak kita untuk memperlakukan orangtua yang egois (karena memaksakan keinginan kepada anaknya) sebagai anak nakal yang diperlakukan dengan sabar, pemahaman, namun tegas. Saya rasa dijabarkan saja maksudnya tanpa pengandaian akan lebih baik. Bagi saya, bagaimanapun juga orangtua tetap menduduki tempat terhormat yang rasa-rasanya tidak pas jika diandaikan dengan anak nakal.

Karena ketidaklengkapannya tersebut, beberapa kali saya melihat pandangan penulis terlalu defensif dan tidak kaya pandangan.

Selain hal-hal di atas, ada juga beberapa hal yang saya rasa kurang sesuai dengan apa-apa yang saya yakini.

…sebagai spesies yang termasuk ke dalam golongan hewan, kita bukan hanya proyeksi intelektual…” (halaman 219). Apa hanya saya yang meyakini manusia bukan termasuk golongan spesies hewan?

Mereka (orangtua) adalah tuhan-tuhan kecil dalam dunianya…” (halaman 225). Sekali lagi, saya kira tanpa pengandaian ‘tuhan-tuhan’ pembaca tetap bisa menangkap maksud penulis.

Hidup Seutuhnya dengan Sadar

Saya kira benang merah dari buku ini adalah ajakan untuk hidup seutuhnya dengan sadar. Jalin kekerabatan dengan baik, rawat tubuh sebelum terlambat, disiplin dalam mencapai tujuan tertentu, dan pergunakan media sosial selayaknya sebagai alat. Buku ini mengajak going offline kepada kita yang terlalu lekat dengan media sosial, jangan lupa ada orang dan makhluk lain di sekitar kita yang perlu juga diperhatikan.

Apa kamu tertarik juga membaca buku ini? Atau kamu sudah membaca buku ini? Boleh ya share pengalaman seru kamu baca buku ini di kolom komen.

Terima kasih sudah membaca!

9 komentar

  1. Kayaknya buku ini juga cocok untuk saya yang sering kebablasan scroll instagram. Memang hadirnya buku kaya gini bisa bikin hidup lebih stabil dan bermakna ya mbak.

  2. Tentang manusia yang dimasukan ke dalam species hutan, memang pengajaran di IPA sampai saat ini menulsikannya demikian, walaupun kita sebagai umat beragama tentu akan sangat tidak setuju dengan hal itu.
    Nama Desi Anwar memang pernah jaya pada masanya. Saya sendiri termasuk yang mengidolakan beliau sebagai anchor woman. Baru tahi kalau ia juga menulis buku. Penasaran juga dengan full isinya

  3. Saya baru baca juga buku ini beberapa bulan yang lalu. Beberapa reviewnya related juga dengan yang saya rasakan, ada beberapa pandangan yang agak kurang srek. But overall saya suka bgt buku ini, buat reminder untuk lebih mengendalikan diri dalam ‘ber-dunia maya’.
    Makasih kak reviewnya sangat komprehensif!

  4. Mba Indah, going offline ini beneran kudu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Rasanya lebih mindful dan aware sama sekitar.

    Pengalaman burukku. Kemarin pas naek taksi sambil maen hape eh diputerin yang jauh dong. Hiks.

    Bukunya menarik banget kayaknya ya mba.

  5. Kalau dibuku ini penulis melakukan salah satunya jalan kaki untuk memaknai hidup agar nggak melulu aktif di dunia maya, kalau suami saya biasanya dengan nyetir 😆😆. Karena kalau nyetir kan otomatis nggak boleh pegang HP.
    Nah kalau sudah nyetir di jalan, apalagi kalau jaraknya jauh, kita jadi punya quality time ngobrol yang benar-benar dari hati ke hati banget. Bahkan kadang juga nemu tempat-tempat seru untuk nongkrong berdua sambil menikmati kuliner nya.
    Aaaah terima kasih reviewnya ya kak 🥰🥰

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *